Hanzhalah bin Abi Amir (Wafat 3 H/ 23 Maret 625 M) adalah salah seorang sahabat nabi dari Bani Aus yang termasuk dalam kaum Anshar. Ia merupakan salah satu anggota pasukan Muslimin yang terbunuh dalam Perang Uhud. Dalam keyakinan umat Muslim, Hanzhalah bin Abi Amir meninggal dengan jenazah dimandikan oleh para malaikat. Nama lengkap dari Hanzhalah bin Abi Amir ialah Hanzhalah bin Abi Amir bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf bin Malik bin Aus bin Haritsah.[1] Ayah Hanzhalah bin Abi Amir yaitu Abu ‘Amir merupakan salah seorang petinggi dalam Bani Aus.

sumber wikipedia

Takutnya Sayyidina Hanzhalah Terhadap Kemunafikan

Sayyidina Hanzhalah Radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Suatu ketika, kami sedang berada di majelis Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menasihati kami sehingga hati kami menjadi tersentuh, air mata kami bercucuran, dan seolah-olah akhirat nampak di depan mata. Selesai dari majelis Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, aku kembali ke rumah dan berkumpul dengan anak istri. Kemudian kami mulai berbicara mengenai sedikit masalah dunia, bercanda dengan anak-anak, dan bercumbu dengan istri. Akibatnya, pengaruh suasana yang aku dapatkan dari majelis Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mulai sirna.

Maka terlintas dalam pikiranku, ternyata keadaanku berbeda dengan keadaan ketika di majelis Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu. Aku berkata dalam hati, ‘Kamu telah menjadi munafik, karena kenyataannya dihadapan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keadaanmu seperti itu dan sesampainya di rumah keadaanmu seperti ini.’

Akhirnya, aku keluar rumah dalam keadaan menyesal dan sedih sambil berkata, ‘Hanzhalah, kamu telah munafik!’ Saat itu, aku berpapasan dengan Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Aku berkata kepadanya, ‘Hanzhalah telah menjadi munafik!’ Mendengar perkataan ini, dia berkata, ‘Subhanallah! Apa yang sedang kau katakan? Ini tidak mungkin.’ Kemudian aku pun menceritakan apa yang aku alami, bahwa ketika kami berada di majelis Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, saat beliau bercerita tentang surga dan neraka, seolah-olah nampak di depan mata. Namun, ketika aku pulang ke rumah dan bercanda dengan anak istri, berbicara tentang harta benda dan lain-lain, semua pengaruh yang aku dapatkan bersama Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terlupakan.

Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menyahut, ‘Hal itu juga terjadi pada diri saya.” Kemudian keduanya menemui Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayyidina Hanzhalah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya Rasulullah, aku telah menjadi munafik.” Beliau berkata, “Apa yang terjadi?” Sayyidina Hanzhalah Radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Ya Rasulullah, jika kami berada dihadapanmu dan engkau menceritakan surga dan neraka kepada kami, seolah-olah keduanya nampak di depan mata. Akan tetapi, jika kami berpisah dengan engkau, bercanda dengan anak istri kami, dan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, semuanya terlupakan.” Beliau menjawab, “Demi Dzat yang nyawaku berada di dalam kekuasaan-Nya, jika setiap saat keadaanmu selalu seperti ketika bersamaku, maka para malaikat akan berjabat tangan denganmu ditempat tidurmu dan di jalan-jalan. Wahai Hanzhalah, hanya saja keadaan seperti ini adalah langka. Tetapi, terkadang seperti ini, terkadang seperti itu.” (dari Kitab Ihya’ Ulumuddin dan Shahih Muslim)

Faidah

Manusia memiliki keperluan hidup yang harus ditunaikan, yaitu makan, minum, anak, dan istri. Bahkan, menanyakan keadaan mereka pun penting. Demikian pula, usaha mengingat akhirat seolah-olah nampak di depan mata adalah penting, meskipun kita tidak mampu setiap saat. Kita jangan terlalu berharap setiap saat dapat mengingat akhirat seolah-olah nampak di depan mata, karena itu adalah derajat yang langka.

Sebab, itu adalah seperti derajat para malaikat. Mereka tidak disibukkan dengan urusan lain, tanpa memikirkan anak istri, tanpa memikirkan mata pencaharian, dan tanpa memikirkan urusan keduniaan. Sebaliknya, manusia senantiasa dibebani keperluannya sebagai manusia, sehingga tidak dapat menetap dalam satu keadaan seperti malaikat. Dengan demikian, yang harus kita renungkan adalah betapa tinggi perhatian para shahabat Radhiyallahu ‘anhum terhadap agama mereka. Jika sedikit saja keadaan mereka berubah dibandingkan ketika bersama Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka menyangka bahwa diri mereka sudah munafik.

Perasaan cinta akan menimbulkan beribu macam prasangka buruk dan kekhawatiran. Jika anak kita yang kita cintai sedang dalam perjalanan, kita mengkhawatirkan perjalanannya. Jika kita mengetahui bahwa daerah yang dituju terkena wabah penyakit atau bencana, berapa banyak surat serta telegram yang akan kita kirimkan!